Sastra dan Suara Subaltern dalam Perspektif Spivak
![]() |
Gayatri Chakravorty Spivak (Google Sastra) |
Gayatri Chakravorty Spivak merupakan salah satu dari sekian
tokoh besar abad ini yang fokus dalam pengembangan kajian postkolonial. Spivak
(1942) adalah seorang teoritisi sastra dan filsuf berdarah India, juga seorang
professor di Colombia
University. Gagasan-gagasan kritis
Spivak dalam teori-teorinya merupakan hasil elaborasi dari pengembangan
psikoanalisis, teori feminis, marxisme, post-marxisme dan post-strukturalisme.
Secara garis besar kritik postkolonial Spivak merupakan teori
wacana yang kerap digunakan dalam kritik sastra untuk menemukan praktik-praktik
kolonial atau neo-kolonial di era postkolonial. Salah satu masterpiece-nya
adalah teori tentang subalternitas yang merupakan pengembangan dari istilah subaltern Antonio
Gramsci (1891-1937) yang diartikan sebagai nama lain dari kaum proletar (kelas
bawah). Berdasarkan terminologi dari terma Gramsci ini, Spivak melakukan
elaborasi lebih mendalam dengan kata subaltern di
mana Spivak menilik, subaltern bukan hanya sekadar kaum atau individu yang
didikte atau terjajah secara fisik maupun batin, namun subaltern adalah mereka yang
telah mengalami pembatasan akses atas hak-haknya secara sadar ataupun tidak
sadar. Secara etimologis, subaltern sendiri merupakan istilah yang
disematkan pada seorang militer yang 'berpangkat rendahan (Ambesange,
2016:48).
Dalam subalternitas, Spivak meyakinkan ada paradoks yang
gagal dimengerti oleh banyak orang, yakni seseorang akan menjadi subaltern
ketika ia tidak mampu menyuarakan suaranya dan lebih memilih diwakilkan
suaranya oleh kelompok atau orang-orang tertentu, seakan-akan perwakilan suara
tersebut mampu meredakan permasalahan atau bahkan menghilangkan penderitaan
yang yang dialami subaltern atau seseorang yang suaranya terwakilkan. Dalam
siklus ini, Spivak sangat menantang adanya representasi suara penderitaan subaltern, karena
ini sama saja dengan memperlihatkan ketidakmampuan atau pembatasan akses pada
subaltern untuk mengekspresikan hak dengan suaranya sendiri sebagai manusia
yang demokratis dan emansipatoris.
Kita bisa mengambil satu contoh kasus, misalnya Indonesia memiliki sistem
demokrasi, namun secara sistem, suara rakyat mesti melalui perwakilan di mana
suara mereka diregulasi untuk diwakilkan oleh para anggota DPR RI sebagai
representasi suara rakyat (kaum proletar, petani, pengusaha, perempuan dan
sejenisnya) tentang apapun yang menjadi kebutuhan rakyat dan wujud kritik
terhadap pemerintah. Namun realitasnya, tidak sedikit para wakil rakyat
tersebut hanya menyampaikan suara-suara yang dianggapnya sesuai dengan
kepentingan mereka dalam diskusi publik ataupun tertutup dengan pemerintah. Dengan
demikian, secara teoritis, rakyat di sini menjadi subaltern, karena suaranya
telah diwakilkan, dan sistem ini memperlihatkan pembatasan akses pada rakyatnya
untuk menyuarakan aspirasinya secara langsung pada pemerintah atau penguasa.
Di
sisi lain, suara yang direpresentasikan ini, menurut Spivak, secara implisit
melegitimasi status
quo dari kekuasaan orang-orang yang mewakilkan suara subaltern di
mana dibalik representasi suara tersebut mengandung kepentingan untuk mendapat
pengakuan atas eksistensi kekuasaan yang dimiliki mereka. Suara subaltern inilah yang dieksploitasi
sebagai instrumen untuk menggapai dominasi nyata kaum politis penguasa, dengan
begitu hegemoni dari aksi politik etis ini kerap disebut dalam istilah hegemoni
bertopeng, karena hadir layaknya seorang pahlawan untuk menyuarakan suara orang
tertindas, namun aksi heroik itu adalah topeng untuk mengukuhkan kekuasaannya
pada subaltern.
Dengan melihat kecanggihan gagasan subaltern Spivak, dewasa
ini, tidak sedikit akademisi sastra yang menggunakan konsep ini sebagai
landasan teori penelitiannya dalam kajian post-kolonial dengan tujuan untuk
menemukan para subaltern atau tokoh yang terbungkam dalam berbagai bentuk karya
sastra, seperti novel, cerpen, puisi dan sebagainya. (*)
No comments: