Paradigma Komunikasi Kritis Sebagai Instrumen Emansipatoris: Kajian Filsafat Jurgen Habermas
![]() |
Jurgen Habermas (sumber: Britanica.com) |
Tidak
dipungkiri komunikasi telah menjadi instrumen terpenting dewasa ini tuk
memecahkan berbagai persoalan, mulai dari masalah yang paling sederhana hingga
yang sangat kompleks. Komunikasi hadir sebagai ruang emansipatoris; argumentasi
menjadi instrumen kesetaraan, di mana setiap orang bebas mengungkapkan pendapat
dan kepentingannya dengan tujuan “mufakat” di mana gagasan yang diajukan dapat praktis dalam dimensi sosial.
Lebih jelas, kesepakatan tersebut, menurut Jurgen Habermas, harus bersifat kritis
dan logis di mana prosesnya melalui refleksi kritis terlebih dahulu.
Kesepakatan akan proses kritis dan logis inilah yang menjadi manifestasi dari emansipasi
yang ingin diwujudkan Habermas dalam konsep praksisnya melalui paradigma
komunikasi. Oleh itu, dalam artikel ini kita akan membahas sekelumit tentang
buah kontemplasi Habermas yang bertujuan praksis.
Fokus
Habermas
Habermas (1929) telah menjadi salah
satu filsuf dan sosiolog Jerman yang paling berpengaruh di dunia. Dalam masa hidupnya,
tidak jarang ia terekam memiliki “konflik” gagasan dengan pemikir-pemikir besar
lainnya seperti Gadamer and Putnam,
Foucault and Rawls, Derrida and Brandom. (1) Fokus kajian Habermas sangat luas,
mulai dari teori sosial-politik, epistemologi, sosiologi, kajian komunikasi dan
retorika, psikologi perkembangan hingga kajian teologis yang terejawantah dalam
karya-karya tulisanya.
Karya-karya
Habermas yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris di antaranya adalah Media and cultural Studies : Keyworks, Philosophy in Dialogues with Jurgen
Habermas and Jacques Derrida, The
Structural Transformation of the Publiv Sphere: An Inquiry Into a Category of
Bourgeis Society, The Theory of
Communicative Action, Vol 1: Reason
& the Rationalization of Society dan masih banyak coretan kritis
lainnya. (2) Selain dikenal sebagai pemikir besar di tingkat dunia, Habermas
juga populer sebagai pemikir mazhab Frankfurt generasi kedua yang menghidupkan
kembali semangat optimis dan melenyapkan kebuntuan teoritis pendahulunya yang
cenderung pesimis akan perwujudan kesetaraan.
Mazhab Frankfurt
Sangat penting untuk memahami visi misi Mazhab Frankfurt
atau School of Frankfurt yang memiliki relasi erat dengan pemikiran kritis
Habermas. Secara historis, Mazhab yang berdiri
pada tahun 1923 beranggotakan pemikir-pemikir besar, seperti Max Horkheimer
(direktur Mazhab Frankfurt, 1930), Theodor W Adorno dan Herbert Marcuse (pemikir
generasi pertama) yang sangat kritis terhadap gagasan-gagasan yang dicetuskan
oleh Karl Marx tersebut. (3)
Mereka
melakukan pembaruan dengan refleksi kritis pada kajian marxis di barat yang
dikenal sebagai marxisme kritis atau neo-marxisme, sehingga tidak salah jika
marxisme disebut memiliki subangsi besar pada lembaga ini, kendati gagasan
kritis mazhab ini tidak terjebak pada muara ideologis layaknya partai komunis
yang berada di Uni Soviet. (4) Karl Marx sendiri, menurut Horkheimer dan
kawan-kawan, merupakan salah satu pemikir kritis yang sangat mengilhami gagasan
kritis dunia, di mana materialisme historis Marx telah merevolusi kritik
idealisme Hegel yang masih bersifat transendental dan mengagungkan purna rasio
manusia dalam prosesnya.
Marx
cenderung memilih konsepsi yang bisa menghasilkan sebuah perubahan, di mana
teori tidak hanya berdasar pada rasio namun bertujuan praksis menuju ruang
emansipatoris. Ruang emansipatoris ini akan tercipta, menurut Marx, ketika
penindasan pemilik modal kepada kaum buruh telah “punah” dan alat produksi
sebagai sumber penindasan telah dikuasai atau dimiliki oleh para buruh itu
sendiri. Selain Marx, mazhab ini juga sangat terpengaruh oleh pemikiran
kritisisme Kant, idealisme Hegel dan juga psikoanalisis Sigmund Freud.
Kritisisme
Kant menjadi sangat berarti di “mata” jajaran pemikir Frankfurt, sebab Kant
menyudahi pertikaian filsuf pendahulunya yang hanya berputar pada rana
ontologis saja, yakni kebenaran yang “ada” dan “tidak ada”. Justru Kant menghadirkan sebuah kesadaran baru bagi
para pemikir di eranya dan masih relevan hingga kini, yakni meragukan alat,
rasio manusia yang digunakan untuk melegitimasi kebenaran ontologis yang
dipretensi oleh para pemikir pendahulunya, maupun se-zamannnya.
Kata
kunci kritisisme Kant adalah meragukan atau refleksi ulang kesahihan atau
kebenaran yang diproduksi oleh rasio kita, di mana pada dasarnya rasio manusia
sangat dimungkinkan melakukan kesalahan dalam menyimpulkan setiap kebenaran
yang kita terima. Dengan begitu, kritisisme Kant sangat menolak adanya
pandangan dogmatism, atau pretense dalam meyakini sebuah kebenaran atau
kenyataan.
Kemudian, seperti Marxisme, Hegel
juga menjadi influencer besar bagi Mazhab Frankfurt. Subangsi Hegel adalah
konsep dialektika, di mana tesis memerlukan anti-tesis untuk menghasilkan
sebuah sintesis. Dialektika adalah konsep kesadaran diri ala Hegel yang semakin
melengkapi kritisisme Kant, di mana dalam kesadaran, diri harus memiliki
kesadaran akan sejarah, budaya, masyarakat dan semestanya. (5) Pada dasarnya,
kebenaran rasio (tesis) kita membutuhkan tantangan, kontradiksi (anti-tesis)
untuk menciptakan kebenaran baru yang lebih purna (sintesis) yang akan terus
terjadi sepanjang hidup. Dengan begitu, rasio seseorang akan makin “sempurna”
eksistensinya dengan ke-ada-an rintangan yang semakin kuat pula dalam
memberikan interupsi akan segala keyakinan yang dimilikinya.
Berikutnya, Sigmund Freud juga
diyakini sebagai pemikir kritis bagi institusi ini, kendati bukan merupakan bagian
dari jajaran filsuf. Peran Freud adalah penemuannya akan psikoanalisis, di mana
Ia menyadari manusia secara individual atau secara mental mengalami kontestasi
internal, hasrat yang dimilikinya melawan budaya masyarakat yang kompleks.
Dengan begitu, hasrat yang kontras dengan aturan sosial yang bersifat larangan
akan mengalami represi yang berujung pada ilusi atau rasionalisasi diri yang
dipaksakan.
Ilusi
tersebut adalah mengandaikan diri manusia baik-baik saja setelah hasratnya
mengalami pertempuran kenyataan dan bermuara pada luka mental yang tersembunyi
alam bawah sadar manusia. Ilusi yang dimaksud Freud hadir di kesadaran dan
nampak nyata dan menutupi luka yang laten. Ketika luka ini hadir atau dimantik
di alam kesadaran, maka secara tak sadar diri akan melakukan negasi atas
kenyataan tersebut yang biasa disebut defence
mechanism.
Pada akhirnya, Freud menunjukan
secara mental manusia tidak bebas. Kenyataan inilah yang membuat para pemikir
Frankfurt generasi pertama mengadopsi gagasan Freud tentang fakta ketertindasan
tidak hanya terjadi di dalam masyarakat, namun nyata dalam ketidaksadaran
manusia. Berangkat dari konsepsi empat pemikir kritis di atas, Mazhab Frankfurt
sebagai pendiri teori kritis merumuskan teori kritis terhadap berbagai gagasan
yang berbau ideologis, utamanya positivisme yang diyakini sebagai ideologi ilmu
pengetahuan modern. Positivisme sangat ditolak oleh pemikir Frankfurt, karena
aliran ini sangat ambisius dalam penerapannya, yakni prinsip ilmu-ilmu alam yang
mengejar sebuah kepastian ingin digunakan pada semua bidang keilmuan lainnya, di
antaranya adalah ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan.
Pada dasarnya, pemikir teori kritis
generasi pertama telah berhasil menghadirkan pemaknaan baru akan rasio kritis
akan berbagai aliran-aliran yang bersifat dogmatis ataupun ideologis. Kendati
demikian, menurut Habermas, Pendahulunya masih menggunakan paradigma kerja
layaknya Marxisme ortodoks, di mana praksis diyakini hanya akan terjadi di rana
pembagian pekerjaan yang bersifat objektif di dalam masyarakat. Hal ini akan
bermuara pada ketertindasan masyarakat dalam pembagian kerja tersebut.
Kesadaran kolektif yang berakhir pada pergerakan revolusioner, yakni aksi
emansipatoris akan menghadirkan sebuah penindasan yang baru pada pihak yang
kalah. Hal ini disadari oleh pendahulu Habermas, di mana emansipasi adalah
sebuah gerakan penindasan baru, layaknya yang peristiwa revolusi Prancis (1789)
di mana kaum petani menunjukan aksi penindasan yang baru pada kaum aristokrat
yang pernah menjajah mereka.
Habermas melihat, pendahulunya telah
memproduksi pemahaman baru akan praksis, namun belum bisa keluar dari paradigma kerja yang masih deterministik.
Konsepsi mereka menemukan “keputusasaan” pada terma emansipasi yang dimaknai
sebagai dimensi ilusif belaka dengan kenyataan penindasan baru yang terus
menyertainya. Untuk itu, Habermas menawarkan sebuah pembaharuan teori kritis,
yakni paradigma komunikasi sebagai instrument
emansipatoris.
Beda halnya dengan paradigma kerja
Marx yang cenderung menarik titik penting pada pergerakan kaum proletar,
Habermas fokus pada emansipasi rasio manusia dalam dimensi komunikatif. Dalam hal
ini ini, kemampuan berbahasa atau berargumen seseorang telah menjadi instrumen
emansipatoris. Dimensi komunikatif ini dapat disebut juga sebagai ruang demokrasi radikal, di mana
dialektika komunikatif yang diproduksi manusianya harus dalam keadaan bebas
dari dikte, ketertindasan, ketakutan dan penguasaan.
Diskusi radikal ini mengandaikan kontestasi
yang rasional antar pembicaranya untuk mencapai sebuah konsensus. Tentu saja, konsensus
ini akan tercapai dalam upaya
kontemplasi yang mendalam pada setiap masing-masing argumen yang didengarkan.
Pada prinsipnya, paradigma kerja dan paradigm komunikasi adalah dua instrumen praksis
yang tidak bisa disangkal eksistensinya. (5) Titik pertemuan paradigma komunikasi
dan kerja ini terlihat pada produksi rasionalitas, di satu sisi kerja
membutuhkan rasionalitas untuk memanfaatkan alam, sedangkan komunikasi
membutuhkan rasionalitas untuk saling memahami satu sama lain.
Melalui paradigma komunikasi,
Habermas telah menghadirkan sebuah landasan epistemologis yang berbeda dari
para pendahulunya mulai dari Marx hingga jajaran pemikir Frankfurt yang masih “berputar-putar”
di lingkar paradigma kerja. Habermas menegaskan kesetaraan tidak hanya bisa
dicapai melalui paradigma kerja, namun juga paradigma komunikasi yang
mengandaikan perbincangan tanpa hambatan atau penguasaan satu sama lain. Paradigma
komunikasi di sini dapat diandaikan sebagai perbincangan dalam kehidupan
sehari-hari, di mana dua atau lebih pembicara dalam diskusi ini wajib
menggunakan bahasa yang dapat dipahami satu sama lain dengan disertai analisis
mendalam, penjelasan rasional, pemberian contoh empiris dan strategi ataupun
norma komunikatif yang telah disepakati.
Pastinya, kesepakatan awal diskusi ini adalah
untuk saling memahami satu sama lain hingga pencapaian “mufakat” atau
kesimpulan yang rasional dan bisa diterima oleh kedua belah pihak. Justru, praksis
atau kesetaraan manusia dalam dimensi komunikatif di sini terlaksana ketika dua
anggota diskusi yang saling menjual argumentasi mereka telah memahami poin yang
ingin disampaikan satu sama lain.
Dengan demikian, diskusi atau
dialektika yang “sehat”, menurut Habermas adalah melalui strategi maupun norma dialogal yang telah
disepakati sejak awal. Sebab, hal ini sangat mempengaruhi tercapainya kesetaraan dalam demokrasi radikal yang dicita-citakannya. Pada akhirnya,
jual-beli argumentasi akan menghasilkan konsensus yang akan terus bergerak dalam
benak manusia (refleksi diri), menuju pada keadaan yang lebih rasional, adil dan praksis
dalam spektrum sosial masyarakat. Kendati konsensus yang dihasilkan bersifat temporal,
namun kesetaraan yang sesungguhnya telah dan akan kontinu terjadi dalam proses
interaksi tersebut, ketika setiap dari kita “bebas” menunjukan hasil kontemplasi
rasio kita dengan penjelasan rasional dan bukti empiris hingga realisasi upaya pemahaman
satu sama lain yang bernilai setara dan anti-egosentris.
Daftar Pustaka
3. Surahman. 2005. “Teori Komunikasi
dalam Perspektif Mazhab Frankfurt”. Jurnal Mediator. Vol. 5. No. 1. Hal 120.
4. Hardiman, Budi. F.2009. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Sleman: Pustaka
Filsafat. Hal 40, 55, 81.
5. Hardiman, Budi. F. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta:
Kanisius.
Hal. xx.
No comments: