Dialektika sebagai Jalur Memori Kolektif: Kajian Sosiologis Maurice Halbwachs


    

sumber: Ignant.com

    Ingatan adalah satu kebutuhan esensial bagi manusia dalam pembentukan identitas diri (budaya, agama, pendidikan, geografi, ras dan sebagainya). Secara umum, mungkin kita melihat proses mengingat segala aktivitas, fenomena maupun pelajaran adalah upaya mandiri individu sebagai respon pada apa yang tengah  kita hadapi. Namun pertanyaannnya adalah, apakah setiap ingatan hanya diproses secara individual, atau bisa lebih dari pada itu, diproses secara sosial. Untuk menjawab itu, artikel ini akan menawarkan gagasan memori kolektif yang telah dielaborasi oleh Halbwachs di mana ia menemukan bahwa ingatan tiap individu adalah hasil konstruksi struktur sosial yang berperan masif dalam memproduksi memori kolektif.

Maurice Halbwachs dan Memori Kolektif

Maurice Habwachs (1877-1945) adalah seorang filsuf juga sosiolog asal Prancis. Banyak dari gagasannya dipengaruhi oleh gurunya, Henri Bergson dan Emile Durkheim. Risalah besar pertama Halbwachs mengenai memori adalah ‘Les Cadres sociaux de la memoire’ (1925) yang merelasikan pemikirannya dengan teori Durkheim tentang ‘representasi kolektif’ yang djuga berangkat dari konsepsi Karl Marx tentang kesadaran kelas (Olick et al, 2011:139). Buku keduanya, Habwachs berjudul ‘The Legendary Topography of the Holy Land’ (1941) dan buku ketiganya adalah ‘The Collective Memory’ (1992).

Halbwachs menjelaskan memori kolektif adalah hasil konstruksi sosial di mana memori berawal dari konteks sosial tertentu, diekspresikan dalam simbol-simbol sosial yang berfungsi sebagai alat komunikasi dalam memahami individu satu dengan individu lainnya, sehingga pemahaman masyarakat atas simbol-simbol sosial tersebut merupakan kolektivitas dari memori setiap manusia sebagai makhluk sosial (Halbwachs, 1992:25). Artinya, sebuah sejarah tidak akan menjadi memori kolektif, jika tiap individu tidak mengetahui dan memahami peristiwa yang ada di masa lampau. Hal ini dimantik oleh karakter memori individu yang fragmentaris dan tidak utuh, sehingga untuk melengkapi memori tersebut individu membutuhkan tindakan sosial berupa komunikasi dalam memenuhi atau melengkapi kekosongan informasi yang diperlukan oleh tetap individu tentang sejarah ataupun kebenaran konteks tertentu.

Tindakan sosial inilah yang berimplikasi pada konstruksi memori kolektif, di mana tindakan mengingat masa lalu adalah upaya pemenuhan kebutuhan informasi individual yang kemudian akan menjadi upaya pembentukan memori kolektif. Halwachs (Wattimena, 2016: 167) melihat memori kolektif dipahami sebagai relasi antara peristiwa di masa kini dengan ingatan di masa lampau, sehingga memori kolektif merupakan konstruksi sosial tentang masa lalu berdasarkan perspektif masa kini. Dengan begitu, memori yang digagaskan Halbwachs pada dasarnya bersifat sosial, di mana memori ini juga memiliki fungsi sosial di mana tiap anggota kelompok masyarakat akan menginternalisasikan dan mempertahankan tradisi dan kepercayaan yang sudah ada sejak masa lampau dan berimplikasi pada efektifitas pembentukan identitas kelompok, baik di tingkat individu maupun sosial.3

Misalnya saja, pelaksanaan nonton bareng film G30S PKI yang diselenggarakan tiap tahun oleh pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk mensosialiasikan kembali memori-memori historis yang terjadi di masa lampau, yakni upaya kudeta yang dilakukan oleh partai komunis Indonesia pada 30 Sepetember 1965. Tentu saja, sasaran perhelatan ini adalah integrasi memori historis dan memori masa kini pada masyarakat Indonesia, yang pada akhirnya akan membentuk identitas masyarakat Indonesia dengan jiwa nasionalisme yang kuat dalam mempertahankan  Indonesia yang bineka sebagai negara kesatuan republik dengan prinsip Pancasila.

Ingatan Kolektif dan Ingatan Traumatis

Dalam memori kolektif, ada dua jenis memori dalam pandangan Halbwachs. Pertama, ingatan sosial yang dilegitimasi dan diketahui oleh semua anggota masyarakat atau kelompok tertentu dalam versi ‘legal’ (Wattimena, 2016: 169) di mana hal ini biasa disapa sebagai ingatan sosial juga. Contohnya adalah hari peringatan kemerdekaan suatu negara, monumen pendidikan dan kisah masa lalu yang diakui ke-ada-annya bagi masyarakat.

Kedua, ingatan traumatis,  yakni ingatan yang memuat peristiwa negatif ataupun tindakan negatif tentang pertentangan yang berupa perang, krisis ekonomi, pandemi, pembantaian dan lainnya di masa lalu. Kendati ingatan traumatis ini tidak dilegitimasi layaknya ingatan sosial pada umumnya, ingatan ini masih bisa diakses oleh sejumlah anggota masyarakat melalui cerita lisan, rumor-rumor dan prilaku sosial masyarakat yang tidak terekam oleh pantauan sejarah tertulis oleh otoritas penguasa. Pada dasarnya, satu peristiwa masa lampau yang diingatkan kembali dapat memberikan pemicu (trigger) bagi ingatan sosial dan ingatan traumatis untuk hadir secara bersamaan. Contoh kasusnya, yakni pasca mononton film G3S PKI, kita akan mendapatkan dua sensasi tersebut, yakni ingatan traumatis didapatkan ketika kita menyaksikan pembantaian yang terjadi pada tujuh jendral kita oleh pasukan PKI. Ingatan ini semakin nampak traumatis dan sangat menyakitkan ketika ditonton oleh “keturunan” anggota PKI sendiri, di mana mereka diingatkan kembali, bahwa mereka adalah keturunan penghianat negara, yang pernah berencana mengkudeta kedaualatan NKRI. Sebaliknya, penayangan film ini adalah bukti “kemenangan” Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya dan  kegagalan musuh politisnya, PKI dalam menjalankan upaya kudeta. Tujuan utama dari film ini adalah membentuk rakyat yang produktif dalam menjaga kedaulatan NKRI dengan semangat patriotisme yang tinggi.    

Dialektika Sosial dan Memori Kolektif

Secara teknis, peristiwa masa lalu dikonstruksi kembali melalui bahasa dan simbol-simbol yang disepakati oleh masyarakat pada suatu ruang kumunitas atau kelompok tertentu, sehingga tiap individu dalam kelompok ini memiliki bahasa atau simbol yang sama dalam mengingat dan memahami peristiwa yang terjadi di masa lampau secara kolektif. Tindakan kolektif inilah yang mempengaruhi kesamaan struktur memori tiap anggota kelompok dalam memandang masa lalu yang pada akhirnya membentuk memori kolektif dan muaranya akan menuju pada pembentukan identitas kolektif.

Memori kolektif Halbwachs ini diproduksi, ketika suatu ingatan telah diinteraksikan secara sosial dari individu satu dengan individu lainnya melalui bahasa. Halwachs sangat menolak kehadiran ingatan tanpa melibatkan ruang sosial sebagai jembatan seluruh informasi masa lalu dengan kapasitas memori tiap individu, sehingga ingatan hakikatnya diproduksi oleh dialektika sosial (komunikasi) antar individu dalam sebuah tatanan masyarakat atau kelompok tertentu. Dialektika ini akan bermuara pada konstruksi ingatan kolektif, entah itu ingatan sosial yang dilegitimasi oleh masyarakat secara resmi di mana informasi ingatan akan menjadi bagian kultural dari masyarakat yang secara tak sadar menjadi bahasa bersama seluruh anggota masyarakat mengenai peristiwa tertentu (Halbwachs, 1992:43-45), ataukan ingatan traumatis yang eksistensinya masih debatable  oleh lingkaran sosial yang luas.  

 Daftar Referensi

1.                1.             Halbwachs, Maurice. 1992. On Collective Memory. terj. Coser. Chicago: University of Chicago.

2.               Olick, K. Jeffrey., Vinitzky-Seroussi, Vered., & Levy Daniel. 2011. The Collective Memory Reader.  New York: Oxford University Press.

3.               Wattimena, A. A. Reza. 2016. “Mengurai Ingatan Keloktif Bersama Maurice Halbwachs, Jan Assmann dan Aleida Assmann dalam Konteks Peristiwa 65 di Indonesia”. Jurnal Studia Philosophica Er Theologica. ISSN 1412-0674.

No comments:

Powered by Blogger.