Mekanisme Kekuasaan Ala Foucault dalam Membentuk Masyarakat Disiplin dan Produktif
![]() |
Michel Foucault (sumber: the magger) |
“In its function, the power to punish is not essentially different from that of curing or educating”
-Michel Foucault-
Ketika kita mendengar terma “kekuasaan”, secara spontan ataupun sadar kebanyakan dari kita akan langsung menghubungkannya dengan dominasi dari individu-individu penguasa negara atau “ekonomi” melalui institusi represif seperti lembaga kepolisian, tentara, penjara dan sejenisnya. Namun, kekuasaan dipahami berbeda oleh Michel Foucault sebagai suatu yang lebih luas dan lebih abstrak, di mana dominasi kekuasaan beroperasi untuk mendisiplinkan individu tidak hanya melalui tindakan opresif melalui institusi represif, namun juga beroperasi secara sosial melalui institusi-institusi pendidikan, agama, budaya, kesehatan dan kesejahteraan (Haryatmoko, 2016: 9). Bahkan, Foucault meyakini kekuasaan ada di mana-mana yang terbentuk melalui relasi-relasi antar individu dalam masyarakat untuk menghasilkan individu-individu yang “disiplin” dan “produktif” pada kehidupan sosialnya.
Sebelum tulisan ini mengelaborasi gagasan Foucault
tentang kekuasaan lebih jauh, kita akan berkenalan dulu dengan pemikir besar
berkepala plontos ini. Michel Foucault atau tepatnya Paul-Michel Foucault
merupakan filsuf Prancis yang lahir di Kota Poitiers, tahun 1926
dan meninggal di Kota Paris, tahun 1984.
Konsep-konsep yang diproduksi Foucault membuatnya dikenal pula dalam
berbagai keahlian, mulai dari ahli bahasa, kritikus sastra, teoretikus sosial,
utamanya pemikir mazhab post-strukturalisme dan postmodernisme. Sintesis
gagasan-gagasan Foucault adalah hasil kontemplasinya pada keresahan-keresahan
sosial masyarakat yang disaksikannya, mulai dari seksualitas (sexuality), sejarah (history), kegilaan (madness), peradaban (civilization),
pendisiplinan (discipline) dan lain
sebagainya. Selain itu, banyak pemikir besar dunia pendahulu yang
berkontribusi pada dimensi kontemplasinya, beberapa diantaranya adalah
Nietzsche, Kant, Karl Marx, Heidegger dan
Hegel. Maka tidak heran buah pemikirannya sangat mengilhami pemikir besar
dunia di era abad 20 dan abad 21, di antaranya adalah Gilles Deleuze, Pierre
Bourdieu, Judith Butler, Giorgio Agamben dan Felix Guattari.
Kekuasaan
dalam Perspektif Foucault
Kekuasaan,
menurut Foucault, tidak ditilik lagi sebagai kepemilikan modal seperti yang
digagas oleh Karl Marx dalam konflik kepemilikan “modal produksi” oleh kaum
proletar dan kaum borjuis atau kapitalis. Bukan juga kekuasaan yang digagas Max
Weber, di mana kekuasaan hadir sebagai kemampuan individu, dalam suatu hubungan
sosial, untuk mencapai atau melakukan sesuatu yang yang dihasrati atau yang
diinginkan, kendati hadir berbagai anti-tesis pada apa yang diinginkannya.
Kekuasaan di sini bukanlah kepemilikan uang, jabatan ataupun identitas tertentu
yang dimiliki oleh kelompok atau individu tertentu, bukan pula dilihat dalam
pandangan negatif yang beroperasi dalam lembaga-lembaga koersif dan represif,
namun sebagai sesuatu yang produktif dalam menjaga kestabilan hidup
bermasyarakat (Mudhoffir, 2013: 78). Lebih jelasnya, kekuasaan merupakan
relasi-relasi yang berlimpah dan beragam bentuknya dalam dimensi sosial yang
beroperasi dalam membentuk masyarakat disiplin dan produktif.
Misalnya
saja, salah satunya adalah kekuasaan yang terjadi pada relasi kekuasaan orang
tua dan anak, di mana orang tua memiliki otoritas untuk mengatur, mendidik dan
memarahi anak-anaknya. Kekuasaan di sini tidak diartikan, posisi orang tua
sebagai penguasa dan anak sebagai yang dikuasai, namun kekuasaan adalah relasi
orang tua dan anaknya, karena tanpa relasi tersebut kekuasaan tidak akan
beroperasi. Utamanya, dalam contoh kekuasaan Foucault di atas, kekuasaan bersifat produktif dan
positif, yakni relasi orang tua dan anak memiliki tujuan untuk memproduksi
individu-individu yang anti-barbarisme dan “disiplin” sesuai hukum negara,
kultural, maupun agama.
Dari penjelasan di atas, kekuasaan Foucault harus dilihat dengan kuantitas yang banyak dalam berbagai relasi-relasi manusia, sebab kekuasaan bersifat inheren pada relasi-relasi tersebut. Permainan kekuasaan ala Foucault memiliki kemampuan untuk mengubah, menguatkan dan mereduksi relasi-relasi tersebut melalui kontestasi diskursus (discourse) yang hadir pada relasi-relasi tersebut (Foucault, 1976: 122). Dalam buku Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, Haryatmoko menafsirkan karakter kekuasaan Foucault sebagai satu ihwal yang tak dapat dilokalisir, tatanan disiplin, menghasilkan suatu struktur kegiatan, tidak represif, namun produktif, melekat pada kehendak untuk mengetahui (Haryatmoko, 2016: 15).
Kekuasaan tidak dapat dilokalisir menunjukan eksistensi kekuasaan yang meluas, bahkan ada di mana-mana di sekitar kita. Ia (kekuasaan) bukanlah sebuah identitas dan kepemilikan ataupun kemampuan individu maupun kelompok dominan untuk mengatur kelompok subordinatif ataupun marginal. Kekuasaan dapat dipahami sebagai suatu strategi kompleks yang dilengkapi oleh pergerakan, teknik dan mekanisme tertentu dalam beroperasi dalam dimensi masyarakat. Kekuasaan diartikan sebagai tatanan disiplin, sebab disiplin merupakan terma penting dalam konsep kekuasaan Foucault yang berperan sebagai instrument, teknologi kekuasaan.
Disiplin di sini tidak mesti direlasikan dengan lembaga-lembaga represif, seperti kepolisian, kejaksaan dan sejenisnya namun lebih mengarah pada “modal” untuk menjalankan kekuasaan. Kendati demikian, institusi-institusi represif tersebut dapat menjamin keberlangsungan tatanan disiplin tersebut melalui penjara, rumah sakit jiwa, bahkan institusi pendidikan maupun rumah sakit sekalipun. Dengan begitu, disiplin di sini adalah upaya untuk menjaga kelangsungan kekuasaan dalam masyarakat, yakni menciptakan individu-individu yang produktif dalam lingkaran masyarakat. Apa lagi, di era modern ini kekuasaan semakin menguatkan dirinya dalam bentuk tatanan ilmiah, dalam artian eksistensinya dapat dilihat sebagai tatanan kehidupan yang berlandaskan pengetahuan ilmiah, di mana masyarakat diklasifikasi berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman bekerja dan hal-hal lain yang dihubungkan dengan kecakapan ilmiah seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus, maupun pengakuan sosial dari lingkungannya.
Pengakuan
sosial inilah atau modal simbolik
(Bordiou) hari inilah yang semakin menguatkan argumentasi Foucault, bahwa
kekuasaan sangat erat hubungannya dengan pengetahuan, di mana Foucault
mengelaborasi kehendak mengetahui, di mana kekuasaan berperan sebagai kehendak
tersebut yang melampaui kesadaran manusia, secara tidak sadar hasrat kita untuk
mengetahui sesuatu adalah hasrat untuk menguasai pengetahuan, lebih dari orang
lain, dan kehendak inilah yang membuat kekuasaan itu akan tersebut melakukan
reproduksi secara terus menerus dalam masyarakat, bahkan dalam setiap
dimensi internal individu tertentu.
Mekanisme
Panoptisme
Kekuasaan
Foucault sangat nyata dalam bentuk disiplin, di mana tujuan utamanya adalah
mengoreksi dan mendidik individu hingga menjadi makhluk yang patuh (Haryatmoko,
2016: 21). Untuk menjelaskan disiplin ini, Foucault mengangkat metode panoptik
ke dalam ruang sosial yang lebih luas dalam memproduksi tubuh-tubuh disiplin.
Foucault terinspirasi pada arsitektur penjara panoptik yang ditemukan oleh
Jeremy Bentham., yakni konsep penjara yang terdiri dari sel-sel yang melingkar
dan saling berhadapan. Dari tiap sel yang ada, jendela sengaja dibuka, agar
para tahanan dapat menyaksikan sinar pengawas dari menara pengawas yang membentang
segala arah dalam mengawasi setiap gerak gerik tahanan di tiap waktu.
![]() |
Gambar arsitektur penjara panoptik (sumber: amp.theguardian.com) |
Referensi
2. Mudhoffir,
Mughis. Abdil. 2013. “Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi
Politik”. Jurnal Sosiologi MASYARAKAT. Vol. 18. No. 1. Hal. 75-100.
3. Foucault,
Michel. 1976. Histoire de la Sexualite I.
La volonte da savoir. Paris: Gallimard.
No comments: