Peran Homo Sacer dalam Kedaulatan Negara: Kajian Filsafat Politik Giorgio Agamben

Giorgio Agamben
(Sumber Google)


         
Homo Sacer has been excluded from the religious community and from all political life: he cannot participate in the rites of his gens, nor he can perform any juridically valid act.

 (Agamben, 1998:18).

 

Giorgio Agamben adalah salah satu pemikir asal Italia yang rasanya sulit untuk tidak disebut namanya dalam kamus jajaran filsuf besar dunia abad 20 hingga kini. Basis filsafat dari Agamben sendiri sedikit banyak dipengaruhi oleh tokoh besar pendahulunya, yakni Michel Foucault, Gilles Deleuze, Karl Marx dan beberapa tokoh pemikir besar lainnya. Agamben kerap menuangkan berbagai tilikan filsafatnya dalam buku-bukunya, di antaranya adalah Homo Sacer (1995), Remnants of Auschwitz (1998), The Open Man and Animal (2002) dan masih banyak lagi. Pemikir kelahiran Roma (1942) ini sangat tertarik mengelaborasi gagasannya tentang prinsip hingga aksi pemimpin suatu rezim sebuah negara dalam mendisiplinkan masyarakatnya. Agamben menilik, negara adalah individu dalam kaca mata hukum internasional yang sudah terkualifikasi dibuktikan dengan pemenuhan syarat-syarat akan sebuah negara, antara lain kepemilikan populasi permanen, batas wilayah yang jelas, sistem kepemerintahan dan memiliki kemampuan untuk berkompromi ataupun berdialektika dengan-negara lainnya (Salam, 2018:40).

Menurut Agamben, keempat aspek inilah yang dapat membuat sebuah negara dilegitimasi eksistensinya oleh dimensi global. Oleh itu, dosen filsafat di University of Venice ini mengakui sebuah negara hakikatnya memiliki sebuah kedaulatan sebagai hak dimana dengan menggunakan kedaulatan ini, negara mampu mendisiplinkan rakyatnya dengan menangguhkan hak-hak politik mereka (seperti praktik radikalisasi dll) dan dalam waktu yang sama juga negara mampu berdiri di luar hukum dengan kemampuan menangguhkan hukum-hukum tersebut pada dirinya sendiri. Tindakan penangguhan hak-hak warga negara ini oleh negara ataupun kemampuan negara berdiri di luar hukum ini terjadi melalui proses aksi homo sacer (terma Agamben).

Namun ketika berbicara tentang sebuah negara di sebuah era, ini akan sangat menarik jika membahas tentang hubungan antara negara dan masyarakatnya di mana negara berkewajiban atau memiliki tanggung jawab pada masyarakatnya yang perlu dipenuhi sehingga, negara tersebut mendapat pengakuan hukum internasional (Grotehuis, 2016: 25), diantaranya adalah, pertama, warga negara mendapatkan ruang untuk turut serta dalam pengambilan putusan  di bidang politik; kedua, warga negara  mendapat keamanan dari ancaman, maupun tindak kriminal di dalam maupun di luar negeri; ketiga, setiap warga negara mendapatkan keadilan, kesetaraan dan bebas dari diskriminasi antar sesama warga; keempat warga negara mendapat pelayanan sosial demi terwujudnya kehidupan yang layak dalam ruang sosial; dan kelima, negara berkewajiban untuk menata infrastruktur dan membuat peraturan dalam mendukung terwujudnya visi kehidupan perekonomian yang adil.

Agamben sendiri mengakui sebuah negara hakikatnya memiliki sebuah kedaulatan dimana kedaulatan ini tercipta melalui pelaksanaan totalitarianisme dengan proses normalisasi masyarakatnya (biopolitik) (Agamben, 1995:19). Misalnya saja, kekuasaan Hindia Belanda, di era sebelum Indonesia Merdeka, kerap melakukan tindakan-tindakan yang menunjukan adanya totalitarianisme sebagai bentuk kedaulatan negara Hindia Belanda dalam mendisiplinkan masyarakatnya (Chineses, Indonesians and Dutchmen). Kedaulatan negara yang dimaksud Agamben di sini adalah pemerintah, di mana suatu pemerintah atau rezim memiliki kemampuan untuk menjatuhkan hukuman pada warganya dan bisa pula menangguhkan hukum tersebut atau melakukan pengecualian pada negara itu sendiri (state of exception) atas setiap tindakan negara yang secara riil telah melanggar hukum itu sendiri (Agamben, 1995:16).

 Kedaulatan ini merupakan sebuah keniscayaan, di mana dalam pelaksanaannya negara memiliki hak untuk mendisiplinkan masyarakatnya secara represif atau pencabutan hak politik, maupun hak sipil pada masyarakatnya yang memiliki ideologi kontras dengan negara melalui proses state of exception yang berimplikasi pada penciptaan homo sacer atau proses radikalisasi individu atau kelompok oleh masyarakatnya. Homo sacer terjadi, kala negara telah menangguhkan hak pada subjek atau suatu kelompok atas sebuah alasan tertentu, yang kemudian, homo sacer ini mengahasilkan bare life, subjek alami yang terlepas dari hak-haknya dalam bidang politik. Homo sacer sendiri ialah tokoh dalam cerita Roma yang dikisahkan sebagai manusia yang dapat dibunuh tapi tidak dapat dikorbankan (Agamben, 1995: 47). 

Homo sacer

Homo sacer dalam kisah Roma merupakan sebuah karakter yang telah terlepas dari hak-hak kemanusiaannya di depan hukum setelah melakukan tindakan kriminal, dimana ketika seseorang membunuh karakter ini tidak akan dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal atau pembunuhan (Agamben, 1995: 47). Agamben sendiri melihat kehidupan sebagai arena politik, di mana manusia harus pintar dalam mempolitisasi kehidupan naturalnya (bare life) sesuai dengan tatanan sosial yang ada di sekitarnya (Salam, 2018: 47). Homo sacer ini adalah implikasi dari praktik the exception oleh negara, di mana subjek-subjek yang telah mendapat homo sacer akan terlepas dari hak-hak politiknya dan menjadi bare life. 

Praktik Homo sacer ini juga dapat dikatakan sebagai hasil dari tindakan biopolitik, di mana negara atau kelompok-kelompok politik tertentu mencoba mempolitisasi individu-individu menjadi bare life. Kemudian, kelompok masyarakat ataupun individu di hadapan negara harusnya bisa beradaptasi dengan kehidupan politik yang berada dalam formasi sosial, sehingga mereka bisa terhindar dari praktik homo sacer ataupun praktik biopolitik. Agamben menegaskan (Salam, 2018: 49) individu atau suatu ideologi yang tidak mampu bertransformasi dari keaadan alamiahnya, maka mereka akan tereliminasi secara politik. 

The State of Exception

            Homo sacer adalah implikasi dari eksepsi (the state of exception) yang awalnya dengan menangguhkan hukum negara atau hak asasi manusia (HAM) pada subjek-subjek tertentu (orang-orang abnormal) ataupun kelompok-kelompok tertentu. Pemegang kedaulatan negara dimungkinkan untuk memproduksi bare life, jika telah menghadirkan state of exception (Salam, 2018: 45). Kedaulatan sendiri merupakan satu entitas dengan bare life, di mana negara telah memperoleh kedaulatannya ketika telah berhasil memproduksi bare life. Agamben melihat State of exception ini sebagai bentuk dasar dari pemerintah modern (Kanwar, 2006 :579). Agamben mengklaim bahwa fondasi hukum kita tidak berdasar pada kontrak sosial, tetapi pada struktur state of exception. Dengan mendeklarasikan status pengecualian ini pada waktu yang tepat, misalnya saja pada waktu darurat di mana pemerintah mendapat ancaman oleh tentara negara lain atau bencana alam berskala besar.

State of exception ini adalah cara hukum untuk menangguhkan supremasi hukum, tepatnya dengan tujuan melindunginya (Snoek, 2015:132). Praktik State of exception ini pula memungkinkan tindakan hukum dan politik bisa berjalan secara simultan oleh pemegang kedaulatan suatu negara. Eksepsi (exception) yang dilakukan oleh negara sebagai manifestasi kedaulatan yang dimilikinya dapat dikatakan sebagai suatu tindakan illegal oleh negara dalam sistem yang legal (Salam, 2018: 45). Pada umumnya tindakan eksepsi atau pengecualian ini berimplikasi pada praktik homo sacer kepada para kelompok-kelompok radikal ataupun kelompok-kelompok elit untuk ditangguhkan hukum ataupun HAM mereka oleh negara. Misalnya, negara pilih kasih dan menangguhkan hukuman pada kaum kapitalis, aristokrat ataupun feodalis dan sejenisnya atas tindakan-tindakan kriminal atau pelanggaran atas aturan negara.

Apparatus (aparat)

Dalam mencapai tujuan aksi-aksi homo sacer oleh negara, yakni untuk mendisiplinkan warganya, Agamben memandang apparatus sangat berperan penting sebagai seperangkat alat  relasi yang didukung oleh kekuatan dan ilmu pengetahuan (Agamben, 2009: 2). Agamben  mendefiniskan apparatus dalam tiga poin, yakni: (1) Ini adalah perangkat heterogen yang mencakup hal-hal yang behubungan dengan linguistik dan nonlinguistik, di bawah wacana ini juga, hadir lembaga, bangunan, hukum, tindakan polisi, proposisi filosofis, dan sebagainya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan apparatus Althusser (2010:19-20) yang dibagi menjadi dua. Pertama adalah Ideological State Apparatus (ISA) atau Ideologi Aparatus Negara yang hadir dalam bentuk idelogis seperti agama, keluarga, pendidikan, hukum politik dan sebagainya. Kedua adalah State Apparatus (SA) atau apparatus negara yang berupa aparatus represif seperti pemerintah, polisi, angkatan bersenjata dan sebagainya.

Dengan begitu, aparat bisa dikatakan sebagai jaringan yang dibangun antara elemen-elemen ini. (2) Aparat selalu memiliki fungsi strategis yang konkret dan berada dalam sebuah relasi kekuasaan. (3) Aparat hadir di persimpangan relasi kekuasaan dan relasi pengetahuan. Berdasarkan poin di atas, maka aparat bisa disimpulkan sebagai perangkat yang menggerakan kekuasaan negara dengan berbagai wujud yang dimilikinya. Dewasa ini, Agamben melihat setiap individu telah berada dalam kendali dan pengaruh aparat (Salam, 2018: 44).

Kesimpulan

Dengan begitu, teori filsafat politik Agamben selain berimplikasi mendukung kepastian dari kedaulatan negara dalam dimensi yang positif dan produktif, juga mengkritik pada negara jika dalam pelaksanaan homo sacer, negara secara tiranis meradikalisasi atau meng-homosacer warganya yang mengkritisi atau bersikap resisten pada negara yang dianggap memiliki ideologi yang kontras, bahkan membahayakan ideologi negara ataupun kekuasaan politis kelompok elitis yang memegang kekuasaan negara.

 Oleh itu, Agamben sangat menantang penggunaan homo sacer secara arbitrer oleh setiap negara pada rakyatnya, jika demikian tentu ini berimplikasi pada praktik eksepsi (the state of exception) atau diskriminasi negara yang berlebihan pada rakyatnya, karena negara telah ditunggangi kepentingan kelompok-kelompok politik atau kelompok kapitalis dalam menentukan segala kebijakannya dan ini yang disebut Agamben sebagai negara totalitarianisme. Selanjutnya, meskipun kemampuan istimewa negara atas kedaulatannya tidak bisa diganggu gugat, namun kemampuan pendisiplinan homo sacer ini tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan kewajiban negara dalam memberikan ruang pada setiap warga negaranya tuk berpartisipasi dalam pengambilan putusan politik; pemenuhan perlindungan dan keamanan warga negara dari ancaman luar negeri, pemenuhan keadilan, kesetaraan dan kebebasan dari diskriminasi antar sesama warga; terwujudnya  pelayanan sosial bagi seluruh warga negara yang disertai terpenuhinya pembangunan infrastruktur yang baik yang mendukung pertumbuhan ekonomi kerakyatan.

Daftar Referensi

1.    1. Agamben, Giorgio. (1998). Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Terj. D. Heller-Roazen.         Stanford, California: Stanford University Press.

2.    2.   Agamben, Giorgio. (1995). Homo sacer. Italy: Giulio Einaudi Editore s.p.a.

3.    3. Agamben, Giorgio.(2009). What Is Apparatus ?. California : Stanford University Press.

4.    4.  Althusser, Louis. (2010). Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Terj Olsy Vinoly Arnof. Yogyakarta: Jalasutra.

5.  5. Grotenhuis, Rene. (2016). Nation Building as Necessary Efford in Fragile State. Amserdam: Amsterdam University Press.

6.      6. Salam, Aprinus. (2018). Sosiologi Sastra: Post-Marxisme. Sleman: Duaenam.

7.     7. Snoek, Anke. (2015). “Lessons in Biopolitics and Agency: Agamben on Addition. Jurnal the New Biothics. Vol. 21. No. 2. 


No comments:

Powered by Blogger.