Deferensiasi Paradigma dalam Dimensi Sains dan Sastra


Sumber Google


     Setiap manusia memiliki paradigma sendiri yang menjadi kendaraannya untuk membaca realitas dan menemukan jawaban dari setiap masalah yang hadir di hadapannya. Terma paradigma sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yakni “para” yang berarti di sebelah dan istilah “diegma” dengan makna teladan, ideal dan model. Kemudian secara terminologis, paradigma dapat didefinisikan sebagai sebuah model, kaca mata atau cara pandang tiap individu yang diberdayakan sebagai instrumen dalam menilai dan menilik dimensi realitas yang ada di sekitarnya. Lebih lanjut, signifikansi tulisan ini adalah untuk mengulas perbedaan fundamental antara paradigma sains dan paradigma sastra berdasarkan beberapa sudut pandang paradigmatik di bawah ini.
Menurut Thomas Kuhn, paradigma sains dipahami sebagai pola, skema dan pemahaman akan realitas yang dikaji (Subekti, 2015:166). Kuhn lebih jauh menerangkan, Paradigma yang dimaksud identik dengan dua karakteristik; pertama, paradigma dipandang sebagai capaian yang belum pernah ada sebelumnya dan sangat menarik bagi para pengikutnya; dan kedua adalah paradigma yang memiliki karakter terbuka pada setiap kemungkinan yang berguna dalam mengelaborasi suatu masalah hingga pemberian solusinya (Kuhn, 1962). Dengan begitu, Kuhn melihat fungsi paradigma di sini sangat berperan aktif sebagai kaca mata analisis para peneliti untuk menilik dan memahami problematika ilmiah (tentang alam dan sosial) secara universal hingga penyediaan solusi yang tepat (Muslih, 2004: 127).
Prinsip-prinsip Kuhn tentang paradigma ini berangkat dari kritiknya pada mazhab positivisme yang digagas oleh Auguste Comte, di mana aliran positivistik ini meyakini epistemologi pencarian kebenaran ilmu pengetahuan selalu bersifat kumulatif dan memvalidasi dan menyamakan hukum-hukum alam dan sosial secara general dengan basis pemikiran rasional. Selain itu, Kuhn juga menolak teori Karl Popper tentang falsifikasi, tahap penelitian dalam pembuktian kesalahan dari sebuah teori. Kuhn mengkritik teori Popper begitu gegabah dalam memutuskan pengguguran sebuah teori yang telah dibuktikan kesalahannya yang mana sebuah teori terkonstruksi dari berbagai unsur-unsur yang kompleks. Selanjutnya, Kuhn ingin menyampaikan kecenderungan kedua mazhab pada titik problem solving saja, hingga melupakan basis esensial dalam ilmu pengetahuan yang kita sebut dengan paradigma.  
Konsep paradigma Kuhn di atas telah membawa angin segar bagi dimensi saintifik maupun sosial secara universal. Kendati begitu, tidak sedikit kritik yang hadir sebagai respon pada revolusi paradigma yang ditawarkan oleh Kuhn. Salah satunya adalah Heddy Shri, akademisi bidang sosial-budaya UGM, yang  menganggap Kuhn telah menciptakan dilema akan posisi ilmu sosial-budaya sebagai “ilmu”. Heddy Shri (2009:1) mengkritik definisi paradigma Kuhn tentang ilmu alam belum spesifik dan inkonsisten pada hampir setiap tulisannya. Akibat dari kaburnya penjelasan Kuhn tentang paradigma, Heddy melihat, ini menyulitkan  aplikasi konsep paradigma Kuhn pada tataran ilmu-ilmu sosial-budaya. Tentu saja, ini disebabkan Kuhn yang tidak membahas ilmu sosial-budaya dalam jangkauan paradigmanya secara gamblang, dengan begitu ada dua probabilitas yang hadir sebagai jawaban, yaitu: pertama, paradigma Kuhn berlaku secara universal, tidak terbatas pada lingkaran ilmu sains, namun juga pada ilmu sosial-budaya; kedua adalah Kuhn mengalienasi bahkan tidak mengganggap ilmu-ilmu sosial-budaya berstatus “ilmu”.  
Demi memutuskan dilema yang disebabkan oleh konsep paradigma Kuhn, Heddy Shri (2008:2) merincikan definisi paradigma sebagai seperangkat konsep yang saling berhubungan secara logis di mana entitas ini mengkonstruksi sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, mengartikulasikan dan menjelaskan masalah yang dijumpai. Seperangkat konsep di sini dapat ditafsirkan sebagai kumpulan dari konsep-konsep atau makna-makna yang saling bertalian secara logis (paradigmatik, sintagmatik, metonimik dan metaforik). Hubungan antar makna atau konsep ini terjalin dalam wilayah logika yang tak tersentuh oleh bentuk-bentuk empiris, sehingga kumpulan konsep yang saling berkorelasi ini membentuk yang namanya kerangka pemikiran.
Lebih lanjut, Heddy (2008:2) meyakinkan peran dari kerangka pemikiran atau paradigma tersebut menjadi instrumen individu untuk memahami realitas, menafsirkan realitas, memutuskan masalah yang dihadapi, kategorisasi masalah ke dalam kelas-kelas tertentu, sehingga terjadi harmonisasi konsep pada tataran logikanya, selanjutnya mengkonstruksi bentuk realitas yang sedang dihadapi atau dialaminya. Ihwal penting yang perlu dipahami juga adalah peran realitas yang selalu berdialektika dengan kerangka berpikir setiap manusia hingga menimbulkan rasa tidak puas melalui manifestasi pertanyaan-pertanyaan filosofis dan fresh ataupun masalah yang sulit terpecahkan olehnya dengan kerangka pemikiran yang dimilikinya. Di fase ini individu akan berupaya untuk melakukan pembaruan kerangka berpikir yang mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, paradigma di sini tidak berlaku hanya kepada para saintis atau beberapa kelompok masyarakat intelektual saja, tetapi setiap individu memiliki kerangka pemikirannya sendiri sebagai alat untuk memaknai realitas yang ada di sekitarnya.
  Faruk, dalam bukunya Metode Penelitian Sastra, menerangkan bahwa paradigma baru yang konkrit dan terarah akan lahir, ketika argumen tegas dan jelas tentang paradigma lama telah sanggup dibahasakan (Faruk, 2012: 105). Dengan begitu, dalam penciptaan atau pembaruan suatu paradigma, kita memerlukan penguatan basis, gagasan atau konsep dan pengetahuan tentang paradigma lama, sehingga paradigma yang lama akan menuntun kepada paradigma baru dengan kualitas yang lebih baik. Awal mula suatu paradigma terbentuk, adalah ketika ada kesepakatan oleh kelompok atau komunitas tentang bermacam gagasan yang dinilai normal (Faruk, 2012:106). Berbeda dengan paradigma saintifik, di mana dimensi sastra sendiri tidak selalu terpaku pada penemuan yang menjadi fondasi awal kesepakatan layaknya kesepakatan yang ada dalam dimensi saintifik.
Perbedaan fundamental di antara paradigma sains dan sastra terlihat pada basis pemikiran fenomenalisme dan konstruksionisme. Paradigma sains atau ilmu alam terintegrasi dalam mazhab fenomenalisme (bagian integral positivisme) yang melihat realitas memiliki esensi yang singular, sedangkan paradigma sastra memegang paham konstruksionisme yang kontras dengan paradigm sains, di mana konstruksionisme menolak realitas esensi realitas singular (satu), bahkan paham ini bersifat plural pada setiap realitas yang ditilik dari berbagai sudut pandang. Paradigma konstruksionisme ini bisa dikatakan juga sebagai paradigma multidisipliner. Meski begitu, fenomenalisme dan konstruksionisme memiliki kesamaan pandangan, bahwa segala realitas bersifat intensional atau hadir melalui kesadaran manusia, di mana kesadaran ini terkonstruski karena ada objek yang disadari.
Dengan demikian, aksiologi paradigma, entah itu fenomenalisme sains ataupun konstruksionisme sastra berperan begitu besar bagi perkembangan kerangka berpikir manusia dalam membaca dan mengelaborasi realitas hingga penemuan problem solving yang efektif dan relevan pada formasi sosial. Selain itu, signifikansi historis yang perlu dipahami pula, konsep paradigma sains yang dipaparkan Kuhn telah menjadi petunjuk esensial bagi para akademisi interdisiplin dalam membentuk paradigma disiplin ilmu lainnya (non-sains), salah satunya adalah paradigma disiplin ilmu sastra. 
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H.S. 2009. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya. Kuliah Umum “Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora”. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuhn, T. 1962. The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: The University of Chicago Press
Muslih, Mohammad. 2004. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Subekti, Slamet. 2015. Filsafat ilmu Karl R. Popper dan Thomas S. Kuhn serta implikasinya
dalam pengajaran ilmu. Jurnal  HUMANIKA Vol. 22 No. 2.

No comments:

Powered by Blogger.