Prinsip dan Basis Metode Rasionalisme Rene Descartes
![]() |
Rene Descartes
(Sumber Google)
|
Filsuf berdarah Prancis ini lahir dari keluarga borjuis di kota La Haye. Waktu masih kecil, ia bersekolah dan tinggal di asrama La Fleche. Ia mendapat priviledge untuk bangun terlambat dari sekolahnya, karena gagasan-gagasan brilian Descartes acap kali lahir di atas tempat tidurnya (Zaprulkhan, 2018: 27).
Secara etimologis, rasionalisme
berasal dari bahasa latin, ratio yang berarti akal. Lebih
lanjut, Rasionalisme dapat didefinisikan aliran filosofis yang lebih
mengutamakan kapabilitas rasio dalam menelisik kepastian, kebenaran, esensi
ataupun eksistensi segala hal dibanding dengan instrumen empiris. Prinsip dasar
rasionalisme sendiri meyakini rasio manusia memiliki kapabilitas dalam
menemukan kebenaran, tanpa harus melalui pembuktian empiris (Hunnex, 2004:9).
Dengan begitu, proses kebenaran di sini dapat tercapai hanya dengan adanya
proses abstraksi dalam spektrum rasio manusia yang tak perlu melalui apparatus indra
manusia (pengendusan, penglisahatan, pendengaran, dll) terlebih dahulu.
Dalam dua masterpeaces-nya, Discourse on
Method dan Meditations, Descartes
dengan jelas menerangkan hasil temuannya, metode keraguan (methodological doubt)
yang menjadi landasan dari mazhab rasionalisme. Ia meyakini, segala hal secara
universal dapat dan harus diragukan untuk melenyapkan rasa ragu tersebut.
Ketika kita sampai pada tingkatan di mana keraguan tersebut sirna, maka
Descartes meyakini kita akan menggenggam sebuah kepastian yang absolute. Metode
keraguan ala Descartes ini diawali dengan meragukan segala ihwal atau perihal
secara sistematis hingga mencapai pada titik puncak yang tidak dapat diragukan
lagi. Pada titik inilah, kita akan menguak kepastian yang tidak akan pernah
disadari oleh individu atau kelompok lainnya yang tidak menggunakan metode
keraguan ini (Zaprulkhan, 2018: 28).
Sebagai
gambaran epistemologi metode keraguan ini, Descartes memiliki beberapa tahapan
untuk meragukan segala hal. Pertama, pancaindra adalah salah satu apparatus
manusia untuk memperoleh informasi, namun kepastian atau kebenaran informasi
yang diberikan masih bisa terbantahkan atau diragukan. Misalnya saja, ukuran
bintang di langit secara kasat mata terlihat sangat kecil dan itulah informasi
yang kita peroleh dari indra penglihatan kita. Namun di sisi lain, kita
menyadari bintang tersebut adalah benda langit yang sangat besar yang memiliki
jarak yang sangat jauh dari bumi.
Kedua adalah, keraguan pada dunia
idealisme Plato, di mana dalam prinsip ini ide-ide diyakini sebagai manifestasi
kebenaran. Namun, lagi metode Descartes mematahkan ini, karena tidak ada ide
yang mapan secara absolute. Setiap
ide pasti memiliki ide bandingan yang setiap waktu bisa saling berdialektika
dan menghasilkan ide-ide yang baru. Manusia akan terus berkembang dengan
ide-ide yang terus berevolusi sesuai dengan zamannya. Sehingga, eksistensi ide
ini masih diragukan kepastian kebenarannya, bahkan bisa saja ide tersebut
dikatakan bersifat ilusif, karena setiap orang memiliki waktu titik balik pada
ide-ide baru dan menganggap ide-ide yang dipegang sebelumnya menyesatkan atau
tidak relevan dengan kehidupan yang dijalaninya.
Ketiga adalah keraguan pada ilmu
pasti, geometri, aritmatika, logika maupun matematika. Jika kita mendengar
pernyataan, dua tambah dua berjumlah empat (matematika), segi tiga memiliki
tiga sisi (geometri) dan tidak ada yang hadir dari ketiadaan (logika), ini
adalah kebenaran universal yang masih dipegang teguh hingga hari ini. Kendati
begitu, Descartes yang juga merupakan seorang matematikawan ini meyakini
kebenaran ini masih bisa diragukan. Misalnya saja kala menghitung jumlah
perkalian atau penambahan dan angka yang banyak, besar dengan berbagai koma di
belakangnya tidak menutup kemungkinan akan memperoleh hasil yang keliru atau
tidak tepat, begitu pula dalam ilmu geometri (Rusell, 1975: 740). Sementara
itu, dalam ilmu logika tidak menutup kemungkinan pula manusia melakukan
falsifikasi kala menentukan segala hal dengan prinsip-prinsip logis.
Setelah melalui beberapa tahapan di
atas dalam meragukan segala hal, tibalah kita pada tahap puncak esensial yang
dimaksud Descartes, di mana keraguan metodis universal ini terhenti, yakni
sesuatu tak dapat diragukan lagi. Hal yang tidak dapat disangsikan lagi, adalah
keadaan “aku yang sedang ragu”. Di sisi ini, keadaan ragu menjadi sangat jelas
dan pasti sebagai kebenaran absolute. “Aku
yang sedang ragu” ini hadir, karena "aku" sedang berpikir. Di sinilah
pernyataan Descartes yang fenomenal hadir, “cogito ergo
sum” yang berarti “aku berpikir maka aku ada” sebagai kesimpulan dari
metodis keraguannya di mana “aku” dibuktikan kehadirannya dengan realitas aku
yang berpikir.
Dengan demikian, metode keraguan
ini menjadi pondasi penting rasionalisme, di mana metode ini bukanlah instrumen
untuk tenggelam dalam lautan kebingungan yang tak terhentikan, namun sebuah
langkah yang diyakini sangat efektif dalam mencapai sebuah kebenaran absolute, yakni
pada titik keyakinan yang tidak dapat diragukan lagi. (*)
Daftar Referensi
Hunnex, Milton,. D. Peta
Filsafat. Terj. Zubair. Jakarta: Teraju.
Russell, Bertrand. 1975. History of Western
Philosophy. London: Goerge Allen & Unwin LTD.
Zaprulkhan. (2018). Filsafat Modern Barat.
Sebuah Kajian Tematik. Yogyakarta: JRGiSoD.
No comments: