Prinsip dan Basis Metode Rasionalisme Rene Descartes

         
Rene Descartes 
(Sumber Google)
 Akal adalah salah satu instrumen terbaik manusia dalam mencari kebenaran, maka pantas saja jika kita tidak bisa melepaskan segala sesuatu yang kita hadapi tanpa melalui proses berpikir dengan akal kita. Untuk pembahasan kita kali ini, menarik kiranya untuk mengulas sedikit tentang filsuf besar yang sangat berjasa pada perkembangan filsafat modern, yang juga merupakan pendiri mazhab rasionalisme. Ia adalah Rene Descartes (1596-1650) yang kerap digadang-gadang sebagai bapak filsafat modern. 
Filsuf berdarah Prancis ini lahir dari keluarga borjuis di kota La Haye. Waktu masih kecil, ia bersekolah dan tinggal di asrama La Fleche. Ia mendapat priviledge untuk bangun terlambat dari sekolahnya, karena gagasan-gagasan brilian Descartes acap kali lahir di atas tempat tidurnya (Zaprulkhan, 2018: 27).
Secara etimologis, rasionalisme berasal dari bahasa latin, ratio yang berarti akal. Lebih lanjut, Rasionalisme dapat didefinisikan aliran filosofis yang lebih mengutamakan kapabilitas rasio dalam menelisik kepastian, kebenaran, esensi ataupun eksistensi segala hal dibanding dengan instrumen empiris. Prinsip dasar rasionalisme sendiri meyakini rasio manusia memiliki kapabilitas dalam menemukan kebenaran, tanpa harus melalui pembuktian empiris (Hunnex, 2004:9). Dengan begitu, proses kebenaran di sini dapat tercapai hanya dengan adanya proses abstraksi dalam spektrum rasio manusia yang tak perlu melalui apparatus indra manusia (pengendusan, penglisahatan, pendengaran, dll) terlebih dahulu.    
Dalam dua masterpeaces-nya, Discourse on Method dan Meditations, Descartes dengan jelas menerangkan hasil temuannya, metode keraguan (methodological doubt) yang menjadi landasan dari mazhab rasionalisme. Ia meyakini, segala hal secara universal dapat dan harus diragukan untuk melenyapkan rasa ragu tersebut. Ketika kita sampai pada tingkatan di mana keraguan tersebut sirna, maka Descartes meyakini kita akan menggenggam sebuah kepastian yang absolute. Metode keraguan ala Descartes ini diawali dengan meragukan segala ihwal atau perihal secara sistematis hingga mencapai pada titik puncak yang tidak dapat diragukan lagi. Pada titik inilah, kita akan menguak kepastian yang tidak akan pernah disadari oleh individu atau kelompok lainnya yang tidak menggunakan metode keraguan ini (Zaprulkhan, 2018: 28).
            Sebagai gambaran epistemologi metode keraguan ini, Descartes memiliki beberapa tahapan untuk meragukan segala hal. Pertama, pancaindra adalah salah satu apparatus manusia untuk memperoleh informasi, namun kepastian atau kebenaran informasi yang diberikan masih bisa terbantahkan atau diragukan. Misalnya saja, ukuran bintang di langit secara kasat mata terlihat sangat kecil dan itulah informasi yang kita peroleh dari indra penglihatan kita. Namun di sisi lain, kita menyadari bintang tersebut adalah benda langit yang sangat besar yang memiliki jarak yang sangat jauh dari bumi.
Kedua adalah, keraguan pada dunia idealisme Plato, di mana dalam prinsip ini ide-ide diyakini sebagai manifestasi kebenaran. Namun, lagi metode Descartes mematahkan ini, karena tidak ada ide yang mapan secara absolute. Setiap ide pasti memiliki ide bandingan yang setiap waktu bisa saling berdialektika dan menghasilkan ide-ide yang baru. Manusia akan terus berkembang dengan ide-ide yang terus berevolusi sesuai dengan zamannya. Sehingga, eksistensi ide ini masih diragukan kepastian kebenarannya, bahkan bisa saja ide tersebut dikatakan bersifat ilusif, karena setiap orang memiliki waktu titik balik pada ide-ide baru dan menganggap ide-ide yang dipegang sebelumnya menyesatkan atau tidak relevan dengan kehidupan yang dijalaninya.  
Ketiga adalah keraguan pada ilmu pasti, geometri, aritmatika, logika maupun matematika. Jika kita mendengar pernyataan, dua tambah dua berjumlah empat (matematika), segi tiga memiliki tiga sisi (geometri) dan tidak ada yang hadir dari ketiadaan (logika), ini adalah kebenaran universal yang masih dipegang teguh hingga hari ini. Kendati begitu, Descartes yang juga merupakan seorang matematikawan ini meyakini kebenaran ini masih bisa diragukan. Misalnya saja kala menghitung jumlah perkalian atau penambahan dan angka yang banyak, besar dengan berbagai koma di belakangnya tidak menutup kemungkinan akan memperoleh hasil yang keliru atau tidak tepat, begitu pula dalam ilmu geometri (Rusell, 1975: 740). Sementara itu, dalam ilmu logika tidak menutup kemungkinan pula manusia melakukan falsifikasi kala menentukan segala hal dengan prinsip-prinsip logis.   
Setelah melalui beberapa tahapan di atas dalam meragukan segala hal, tibalah kita pada tahap puncak esensial yang dimaksud Descartes, di mana keraguan metodis universal ini terhenti, yakni sesuatu tak dapat diragukan lagi. Hal yang tidak dapat disangsikan lagi, adalah keadaan “aku yang sedang ragu”. Di sisi ini, keadaan ragu menjadi sangat jelas dan pasti sebagai kebenaran absolute. “Aku yang sedang ragu” ini hadir, karena "aku" sedang berpikir. Di sinilah pernyataan Descartes yang fenomenal hadir, “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir maka aku ada” sebagai kesimpulan dari metodis keraguannya di mana “aku” dibuktikan kehadirannya dengan realitas aku yang berpikir.     
Dengan demikian, metode keraguan ini menjadi pondasi penting rasionalisme, di mana metode ini bukanlah  instrumen untuk tenggelam dalam lautan kebingungan yang tak terhentikan, namun sebuah langkah yang diyakini sangat efektif dalam mencapai sebuah kebenaran absolute, yakni pada titik keyakinan yang tidak dapat diragukan lagi. (*) 
          
Daftar Referensi
Hunnex, Milton,. D. Peta Filsafat. Terj. Zubair. Jakarta: Teraju.
Russell, Bertrand. 1975. History of Western Philosophy. London: Goerge Allen & Unwin LTD.
Zaprulkhan. (2018). Filsafat Modern Barat. Sebuah Kajian Tematik. Yogyakarta: JRGiSoD.





No comments:

Powered by Blogger.