Kontestasi Thanatos dan Eros dalam Pembacaan Realitas



Tidak dapat terelakan dalam kehidupan, kita akan selalu berupaya untuk mendapatkan kegembiraan, kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan dalam setiap waktu. Prinsip kesenangan atau pleasure principle, menurut Freud, disebabkan oleh adanya instink eros. Eros di sini tidak dibatasi pada konteks seksual saja, namun pada segala hal yang menjadi penyebab tercapainya kenikmatan pada manusia atau individu, mulai dari kasih sayang pada orang tua, cinta pada tuhan dan cinta pada diri sendiri (narcissism).
Ilustrasi Dewa Thanatos
(sumber: Google)
Menurut Freud, prinsip dengan memprioritaskan kesenangan ini tentu cenderung hadir di fase infantil (0-5 tahun) dan atau masa kanak-kanak. Di fase ini, anak-anak cenderung mengedepankan prinsip kesenangan/libido atau id dibanding dengan menangguhkannya di bawah kontrol ego atau pun superego.
Kemudian, ego individu terbentuk pada anak pada masa remaja atau fase phallic (5-12 tahun). Individu telah mampu menangguhkan kesenangannya pada waktu ini oleh ego, meskipun penundaan yang terjadi cenderung dalam bentuk represif atau pemaksaan dari lingkungan atau prinsip realitas yang ada di sekitarnya. Proses kesadaran seseorang dikatakan telah matang, ketika superego atau norma-norma kultural dan universal telah diresapi individu dan menyatu dalam dirinya sendiri. Fase ini adalah fase genital atau fase dewasa (>12 tahun) dalam determinasi Freud). 
Dalam fase Genital inilah, ada kontestasi antara prinsip kesenangan dan prinsip realitas di mana individu telah mengalami self-frustrated berupa rasa kemarahan, kebencian, ketakutan dan sejenisnya. Gangguan diri ini disebabkan oleh insting kematian yang bersifat destruktif dan agresif. Instink ini adalah pemicu terjadinya pembunuhan, kekejaman, penyiksaaan, sarkasme dan setaranya oleh manusia. Oleh Freud, instink ini disebut Thanatos yang biasa disapa juga dengan terma death drive.
            Death drive inilah yang menjadi temuan fenomenal Freud dalam tulisannya Beyond The Pleasure Principle merupakan manifestasi atau bukti bahwa prinsip kesenangan manusia yang universal bisa dilampaui. Dorongan kematian ini disadari Freud melalui  paksaan pengulangan  atau repetition compulsion yang kerap dialami individu ketika telah mengalami rasa sakit atau kehilangan yang mendalam. Contoh sederhana dari repitisi ini adalah ketika Freud mengamati permainan fort / da yang dimainkan cucunya, di mana bocah itu akan membuang gulungan, kemudian menariknya kembali oleh tali yang terpasang, berteriak "fort" (pergi/hilang) dan "da" (kembali!). Freud menafsirkan, permainan ini adalah langkah yang sama bagi anak untuk menerima kepergian ibunya dalam satu waktu. Dengan demikian, repitisi-repitisi akan kesakitan dan kehilangan ini secara sadar ataupun tidak sadar dapat ditafsirkan juga sebagai upaya diri untuk mengobati dan menerima tragedi yang dialami.
            Berangkat dari pemaksaan repitisi yang terjadi dalam diri, bahkan telah berada di luar dari prinsip kesenangan, naluri kematian dikorelasikan Freud juga dengan hasrat untuk kembali pada keadaaan sebelumnya, yakni kematian. Kematian di sini dapat diartikan sebagai kesenangan yang absolute di mana naluri ini sebagai respon dari hidup yang terasa ‘mati’ atau meaningless. Dengan begitu, death drive yang dominan hingga hadirnya hasrat untuk bunuh diri adalah akibat dari instink eros yang kecewa dan kehilangan akan objek libido yang membuatnya senang. Ketidakmampuan individu dalam menafsirkan realitas akan kehilangan di sini mampu memicu gejolak instink thanatos yang lebih besar. 
            Dari penjelasan di atas, poin yang dapat kita maknai bahwa setiap manusia memiliki unsur eros dan thanatos yang selalu berkontestasi dalam pembacaan realitas  yang kemudian menciptakan karakter versi diri setiap waktunya secara gradual. Eros sendiri adalah dewa cinta dan Thanatos adalah dewa kematian dalam mitos Yunani. Kadar eros yang berlebihan akan menciptakan versi diri yang penuh cinta, namun cenderung manja, kekanak-kanakan ketika diperhadapkan dengan tragedi kehilangan pada objek hasratnya. Sementara, kadar thanatos yang berlebihan juga merupakan manifestasi dari kehilangan yang tidak sanggup terobati dalam penerimaan realitas, sehingga  kehidupan serasa mati dan tak berarti. Thanatos juga dalam konsep Freud, dapat diartikan sebagai hasrat untuk melakukan perbuatan menyimpang, seperti membenci, membunuh, dan hal ekstrem jenis lainnya, sehingga Thanatos harus mampu dikontrol dengan baik oleh manusia. Salah satu contoh kontestasi eros dan thanatos adalah ketika dua sejoli yang saling mencintai dengan landasan eros yang besar, namun satu ketika realitas menghadirkan salah satu dari mereka berselingkuh, maka eros yang dimiliki individu yang diselingkuhi bisa berubah menjadi thanatos dalam manifestasi benci, bahkan fatalnya ada rasa dendam, bahkan niat untuk membunuh si pasangan ataupun bunuh diri, karena eros yang pudar telah didominasi oleh tatanan thanatos yang ada di dalam dirinya.
Dengan demikian, realitas di sini sebagai arena yang menangguhkan dan mengkolaborasikan instink eros dan thanatos dalam kadar yang netral. Hal ini terlihat jelas pada individu yang berkarakter dewasa dan matang adalah ketika ia telah mampu menangguhkan dan menunggu kesenangannya untuk mendapatkan apa yang menjadi objek hasrat. Kedewasaan ini disebut dengan prinsip realitas (reality principle) yang menjadi instrumen ideal manusia dalam menetralkan dan memaknai realitas yang dikolaborasikan dengan prinsip kesenangan. 


No comments:

Powered by Blogger.