Dominasi Identitas Gender sebagai Pencapaian Performatif dalam Perspektif Judith Butler
![]() |
Judith Butler (Sumber: whatswrongcvsp.com) |
Secara universal, kita mungkin akan
berpandangan bahwa seksualitas dan identitas gender merupakan
suatu kesatuan integral, esensial dan alami yang dimiliki oleh setiap individu sejak lahir. Misalnya saja, pria yang normal pasti memiliki gender maskulin
yang dominan, begitu pula dengan perempuan harusnya memiliki gender feminin yang dominan. Kendati begitu, pandangan ini sangat kontras dengan kaca mata Judith Butler (1959) tentang keutuhan dan naturalitas sebuah identitas gender yang akan kita bahas dalam artikel ini. Butler sendiri adalah seorang filsuf perempuan dari Amerika, yang juga berperan sebagai teoritisi gender populer di abad ke 20 dan abad 21 ini.
Butler (1988: 520)melihat identitas gender seseorang
tidak stabil dan rentan akan sebuah perubahan, sehingga konstruksi pada identitas ini adalah
sebuah struktur yang inkonsisten dan dinamis yang kemudian mengikuti konvensi
dan struktur sosial dominan dalam suatu ruang dan waktu. Ia meyakini,
identitas hanyalah sebuah struktur ilusif yang merupakan akibat dari tindakan-tindakan
atau performance, dan kemudian
menolak adanya esensi dari tindakan-tindakan tersebut, seperti halnya dalam
konvensi universal tentang dikotomi gender, yakni feminitas dan maskulinitas.
Gender
dalam perspektif Butler adalah urusan performatif yang kemudian setelah menjadi
konvensi dalam suatu tatanan sosial bertranformasi menuju performativitas identitas gender.
Dengan begitu, Gender diartikan bukan merupakan bagian integral individu yang
utuh dan inheren melainkan apa yang dilakukan individu tersebut, sehingga Butler menekankan
gender sebagai doing dibanding dengan
being atau yang hadir secara natural
dan substansial pada diri setiap orang. Secara signifikan, yang terjadi hari
ini adalah gender dilembagakan melalui tindakan-tindakan yang menghasilkan
konsekuensi identitas gender yang telah terkonstruksi secara alamiah sebagai
pencapaian performatif (Butler,1988: 521). Sedangkan Sex, dalam pandangan Butler, sebagai konstruksi ideal yang
diaplikasikan secara gradual dan dibentuk berdasarkan tatanan norma sosial.
Dalam pandangan universal, secara normal sex dan gender adalah suatu kesatuan
di mana seorang perempuan dapat dipastikan memiliki gender femin dan sebaliknya
juga laki-laki akan memiliki gender maskulin, jika yang terjadi sebaliknya maka
individu-individu ini akan dimasukan dalam golongan abnormal.
Ketidaknormalan
ini dikritik oleh Butler ketika menilik relasi antara sex dan gender yang
bernama heterosexual matrix yang
melihat bahwa jenis kelamin ditentukan secara biologis sejak lahir dan kemudian
secara integral gender menyertainya berdasarkan hasil konstruksi tatanan sosial
dan kultural masyarakat. Dengan demikian, tidak mengherankan jika setiap
individu hari ini sejak lahir telah disematkan gender dan jenis kelaminnya
seakan-akan merupakan suatu entitas yang tidak dapat terdikotomi (Gauntlett,
2008:148).
Merleau-Ponty
merefleksikan dalam tulisannya The
Phenomenology of Perception bahwa tubuh dalam eksistensi seksual adalah
ide historis dibandingkan dengan spesies alami. Hal ini senada dengan ujaran Simone
de Beauvoir dalam The Second Sex yang
mengatakan bahwa pria ataupun wanita, jenis kelamin apapun adalah konstruksi
historis, bukan konstruksi alamiah (Butler, 1988: 519). Butler, di sini dapat
melihat seksualitas dan gender adalah hasil rekonstruksi yang terjadi dari
waktu ke waktu yang kemudian secara historis dilatarbelakangi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu dalam membentuk suatu struktur ideal. Kendati
begitu, dimensi alamiah biologis tubuh tidak ditolak eksistensinya, tetapi
dipahami sebagai sebuah perbedaan yang kemudian dikonstruksi secara sosial dan
kultural dalam klasifikasi identitas tertentu.
Identitas
gender adalah konsekuensi dari aksi-aksi atau performance individu yang disebut sebagai gender act, sehingga gender sendiri dapat dikatakan tidak memiliki
identitas substantantif atau bawaan sejak lahir, di mana tindakan dari
individu dinaturalkan menjadi sebuah identitas. Hal ini dikuatkan dengan
penelitian Butler pada waria. Dalam perubahan kearah konstruksi ideal, Butler
mengatakan, waria perlu memproduksi aksi-aksi tertentu yang diantaranya adalah
berpenampilan feminin. Dalam aksi ini, Butler menemukan sebuah fakta yang
sangat menarik, bahwa waria yang tampil feminin sebelumnya telah melalui proses
imitasi pada perilaku feminin perempuan pada umumnya. Hal ini berimplikasi bahwa
reproduksi feminitas adalah hasil dari proyek imitasi yang terus menerus
berlangsung. Dengan demikian, konsep ini pula berlaku pada maskulinitas dan
gender-gender lainnya, di mana sebuah gender atapun identitas adalah hasil dari
tindakan performatif yang dilakukan secara berulang-ulang untuk membentuk
perfomativitas gender dan identitas tertentu melalui proses imitasi pada
konstruksi ideal dalam sebuah tatanan sosial yang dinaturalkan dan
diinternalisasikan pada tiap individu.
Bertolak
dari prinsip teoritis di atas, kita dapat simpulkan bahwa perempuan dan
laki-laki pada dasarnya memiliki pondasi dan kebebasan eksistensial yang sama,
namun kebebasan ini dikonstruksi oleh dominasi tatanan sosial, dalam ruang dan waktu
tertentu, untuk menciptakan dikotomi gender dan sex yang dominan, seperti pria dan wanita, maskulin dan feminin di mana fenomena ini seakan terjadi secara alami. Butler
kemudian menggunakan konsep performativitas ini untuk mengkritik tatanan patriarki. Butler
menegaskan, kaum feminis perlu berhati-hati dalam mengartikulasikan hukum
patriarkal secara politis sebagai struktur represif, di mana upaya ini harus
bebar-benar berlandaskan perspektif kritis. Hal ini perlu dilakukan untuk menghilangkan
dugaan klaim akan prasangka terhadap kekuatan maskulinitas oleh kaum feminis
(Butler, 1999 46). Sebab ia
melihat hukum patriarkal yang represif dan hirarkis selalu bersembunyi pada
dalih, lebih baik ada hukum dibanding tidak ada hukum, yakni dimensi sebelum
manusia mengenal hukum itu sendiri. Taktik strategis inilah yang menjadi
jembatan narasi untuk melegitimasi kekuasaan hukum patriarkal dan
memperlihatkan ini sebagai keniscayaan historis.
Dengan begitu ketidakutuhan atau ketidakpenuhan dari identitas gender ini bisa menjadi landasan kritis kaum feminis untuk merancang dan mengkonstruksi tatanan yuridis patriarkis menjadi tatanan yuridis yang emansipatoris, bahwa perempuan tidak memiliki identitas esensial (feminin), sehingga kaum patriarki tidak memiliki alasan yang kuat untuk membelenggu performance perempuan pada batasan identitas gender tertentu sebagai kelas inferior.
Daftar
Pustaka
Butler, Judith. 1988. Performative Acts and Gender Constitution:
An Essay in Phenomenology and Feminist Theory. Terbit di Jurnal Theatre. Vol. 40, No. 4. pp. 519-531. Baltimore:
The Johns Hopkins University Press.
Gauntlett, David. (2008). Media, Gender and Identity: An Introduction.
London: Routledge.
Butler, Judith. 1999. Gender Trouble Feminism and the Subversion
of Identity. New York and London: Routledge.
No comments: