Bahasa sebagai Agen Hasrat The Other dalam Kajian Psikoanalisis Jacques Lacan
![]() |
Jacques Lacan (Sumber: lithub.com) |
Setiap individu akan selalu mencari
kepuasan dan kepenuhan dalam hidup tatanan sosialnya. Secara sadar dan tak
sadar, kita merindukan makna keutuhan melalui kepemilikan akan barang-barang
yang dihasrati. Namun entah kenapa sensasi kepuasan dan keutuhan hasrat tidak
akan pernah terjangkau, bahkan pasca memiliki barang yang dihasrati sekalipun.
Kepuasaan yang tercapai hanyalah sensasi temporal dan akan kembali merasakan
kekurangan yang memproduksi hasrat baru pada objek yang berbeda lagi.
Pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan hasrat tersebut hadir dan kenapa
hasrat ini bersifat dinamis atau berpindah-pindah dari satu objek ke objek yang
lain. Dengan begitu, pertanyaan ini akan dielaborasi pada artikel ini dengan
menyingkap gagasan psikoanalisis Lacan.
Jacques-Marie Emile Lacan
atau biasa disapa dengan nama Jasques Lacan (1901-1981) merupakan seorang
psikoanalisis Prancis yang sangat populer di era dewasa ini. Gagasan besarnya
pada pembaruan psikoanalisis ala Freudian sangat mengilhami pemikir-pemikir
pasca-modernisme, pasca-strukturalisme
maupun pasca-marxisme era ini. Lacan memiliki konsentrasi pada alam bawah sadar
atau ketidaksadaran Freudian yang dielaborasi kembali olehnya dengan instrumen
linguistik ala Saussure. Lacan memahami pentingnya konsep strukturalis Saussure
untuk memahami psikologi manusia yang berbasis pada bahasa. Bahasa dalam
istilah Lacanian adalah “penanda” yang mewakili hasrat manusia. Penanda merupakan segmen esensial dalam kajian psikoanalisis
Lacan, sebab ia menilik adanya ketidaksadaran
terstruktur layaknya bahasa dalam bentuk metafora dan metonimia pada
diri manusia (1).
Dalam prinsip
psikoanalisisnya, Lacan meyakini sejak mengenal bahasa manusia akan terus mengalami rasa kekurangan atau lack yang akan selalu memantik hadirnya
hasrat akan banyak hal. Di sini,
manusia bisa dianalogikan seperti air dalam botol mineral yang hampir penuh
namun dan tidak akan pernah penuh hingga kematian menjemputnya. Ketidakpenuhan
inilah yang selalu ingin dipenuhi oleh manusia dengan segala macam cara. Nah,
di sini lack selalu memproduksi
hasrat yang dimaknai secara simbolis pada setiap objek dengan angan-angan kepemilikan
barang tersebut akan mengisi sensasi lack
yang bersifat abadi ini dalam sifatnya yang imperfect.
Manusia selalu
berupaya merepresentasikan keinginan atau hasrat mereka pada objek-objek yang dibahasakan
dan diyakini dapat melenyapkan sensasi lack
yang tak kunjung usai. Setiap diri seakan-akan telah dikutuk untuk
selalu merasakan kekurangan dalam hidupnya dengan kegagalan ataupun
keberhasilan yang telah didapatkannya, rasa lack
ini akan selalu menjadi alasan manusia untuk tidak berpuas diri, bahkan sulit
untuk bersyukur akan apa yang telah dimilikinya.
Lebih jauh lagi,
untuk menjelaskan asbabun nuzul hasrat ini, secara terstruktur dan spesifik,
Lacan menjelaskan ada tiga fase mendasar yang perlu dipahami dalam konstruksi
hasrat manusia.
Fase Cermin dan Citra Ideal
Fase cermin adalah temuan pertama Lacan dalam kajian psikoanalisis yang
dijabarkan pada kongres ke XVI Asosiasi
Psikoanalisa Internasional (1936). Fase ini dapat diartikan juga sebagai tatanan Imajiner (the imaginary) yang dipresentasikan Lacan dengan judul “Le Stade du Miroir” atau Stadium Cermin (2).
Fase cermin ini dimulai kala bayi telah berumur 6 bulan di mana bayi telah
melakukan identifikasi diri dengan melihat orang lain yang ada di sekitarnya,
kendati demikian, egonya belum mengenal struktur bahasa. Bayi melakukan
identifikasi dalam konsep cermin ini yang dipahami secara metaforis, di mana ia
melihat orang lain sebagai dirinya, sehingga pada dasarnya sang bayi telah
gagal mengenali dirinya yang sesungguhnya, melainkan persepsi diri yang
diproduksi berlandaskan citra visual atau Gestalt
yang disaksikannya. Dengan begitu, proses identifikasi ini bukannya mencapai
kesadaran akan diri bayi, justru memproduksi diri yang imajiner. Di fase
inilah, Lacan menegaskan, manusia mengalami keterasingan pertama, kala diri
diasingkan dan dikonstruksi oleh citra diri yang dihasilkannya dalam bayangan
diri imajiner.
Fase ini, Lacan memaparkan dalam tulisannya yang berjudul Ecrits (1977) sebagai stadium perubahan yang disebabkan oleh imajinasi subjek
pada sebuah konsep ideal tentang pandangan eksteriornya (3). Dengan begitu, pada
momen ini sang bayi dapat dikatakan telah mengalami misunderstanding untuk membedakan self dan orang lain, namun juga secara simultan sang bayi telah
mengkonstruksi konsep ideal atau ‘ego ideal’ (bahasa Lacan) dalam
perkembangan pembentukan pribadi bayi. Kemudian, bayi yang bertumbuh hingga dewasa akan terus berdialektika
atau melakukan identifikasi secara imajiner dengan objek-objek yang ditemuinya hingga
terkonstruksi ego ideal yang semakin lama semakin kompleks. Fase
cermin ini diinterpretasikan oleh Althusser sebagai Ideological State Apparatus (ISA) atau ideologi apparatus negara di
mana ISA ini bekerja secara ideologis dan diskursif dalam bentuk pendidikan,
hukum, agama, budaya dan sejenisnya dalam mengkonstitusikan subjek (4).
Hasrat dan Yang-Simbolik
Yang-simbolik (the symbolic) adalah temuan kedua Lacan
yang dikenalkan pada kongres Institusi Psikologi di Universitas Roma pada tahun
1953. Lacan melihat fase simbolik ini sebagai dimensi di mana manusia pada
dasarnya dikonstruksi oleh struktur penandaan atau bahasa. Melalui bahasa, Lacan
menjelaskan manusia tidak sadar dalam menghasrati segala sesuatu. Manusia
seakan-akan sadar dalam menghasrati apapun yang diinginkannya, namun ia tidak
tahu bahwa yang ia hasrati hanyalah apa yang orang lain hasrati. Hasrat yang
dimaterialisasi menjadi kebutuhan manusia akan sesuatu merupakan hasil
internalisasinya pada setiap objek hasrat yang disaksikannya melalui nasihat, saran,
sosialisasi, hakekatnya melalui bahasa. Misalnya, saja ketika kita ingin
membeli handphone untuk kebutuhan internet dan telepon dan smsan. Secara tak
sadar kita akan mencari atau menghasrati handphone keluaran terbaru dengan
brand yang populer di tatanan sosial kita. Hasrat tidak hanya tertuju pada
kebutuhan fungsional akan handphone, yakni internet-an, telepon-an dan sms-an,
namun hasrat kita terdistorsi oleh
penanda popularitas yang termaktub pada brand handphone tersebut yang diproduksi
oleh tatanan sosial kita melalui penandaan yang dominan tentang handphone
tersebut. Dengan begitu, tatanan simbolik yang berbasis pada bahasa adalah
pemantik hasrat manusia pada suatu objek. Melalui bahasa, tiap individu kembali
terasingkan pada citra idealnya. Bahwa merek tidak tidak menyadari yang kita hasrati adalah
apa yang dihasrati orang lain.
Lebih jauh lagi, Fase ini ditandai ketika anak telah mengenal hukum
kultural, etis, religius maupun hukum dalam pandangan negara melalui bahasa.
Hukum ini, dalam istilah Lacan adalah ayah simbolik (le Grand Autre) atau The
Other. Bagi tiap individu, The Other adalah kekuatan yang mengatur,
bahkan dapat mengkastrasi hasrat manusia, sehingga hasrat kita hadir sesuai
keinginan atau perintah The Other. Untuk
menjelaskan eksistensi The Other, Lacan
mengelaborasi pandangan antropologis tentang larangan hubungan sedarah.
Misalnya saja, sang anak tidak dimungkinkan untuk menghasrati ibunya sendiri,
karena sejak kecil hasrat anak pada ibunya telah dikanalisasi melalui bahasa
oleh The Other dalam bentuk hukum
kultural maupun religius. Dengan begitu, kekuasaan The Other atas individu hanya dapat diproduksi dan dilegitimasi
kala individu tersebut telah menguasai dan memahami bahasa. Dalam cengkraman The Other, individu telah menjadi subjek
atau diri yang simbolik.
Yang-Riil dan Objet Petit a
Yang-riil (the real) adalah fase di mana diri merasakan sensasi utuh, sempurna
dan tak berkekurangan. Karakter yang-riil ini sangat kontras dengan yang-simbolik
di mana yang simbolik selalui dikenali dengan rasa kekurangan yang tak pernah
usai. Keutuhan ini dapat terjadi pada dimensi primordial ketika bayi masih menjadi
bagian integral ibunya. Karena sifat utuh ini, yang-riil di sini adalah dimensi
yang tak terjangkau dan tak terbahasakan ketika diri belum melakukan
identifikasi diri ataupun mengenal bahasa (5). Kendati begitu, tatanan
yang Riil ini tidak akan berhenti
pada masa bayi saja, namun yang-riil akan selalu hadir sebagai landasan
progresif diri pada fase cermin, utamanya pada fase simbolik. Pada fase
simbolik, sensasi kekurangan atau lack
subjek yang bersifat eternal selalu
menjadi agen The Other untuk
mengkonstruksi hasrat subjek melalui penandaan pada suatu objek (hasrat),
seakan-akan ketika mendapatkan objek hasrat tersebut, subjek akan merasakan
kembali keutuhan yang pernah dirasakannya ketika berada di fase primordial atau
yang-riil. Dengan demikian,
Pengejaran subjek akan segala sesuatu yang dihasrati adalah ejawantah dari
kerinduan subjek akan sensasi utuh dan tak berkekurangan yang ada pada yang-riil.
Meski yang-rill merupakan ruang yang tak bisa dibahasakan, Lacan mengakui
yang-riil dapat ditandai dengan
absensi “a” atau “objek a kecil” (objet petit a). Pada dasarnya, hasrat
subjek diproduksi oleh dominasi yang-simbolik dalam waktu temporal saja. Hal
ini dapat dijelaskan pada subjek yang sedang berhasrat di mana hasrat tersebut
akan membagi subjek menjadi dua, yakni subjek yang secara sadar menginginkan
objek hasrat dan subjek yang secara tidak sadar merindukan objet petit a, yang termaktub pada objek hasrat. Objet petit a adalah objek yang abstrak dan tak dapat terjangkau
dan tak terbahasakan. Di sini subjek tidak mengenali eksistensi “a”, karena dominasi bahasa yang selalu
berupaya untuk menjelaskan alasan subjek menghasrati objek. Namun kehadiran “a” dapat diketahui setelah absensinya pada
objek hasrat, sehingga tanpa alasan yang jelas, subjek tidak lagi menghasrati
objek tersebut. Dengan begitu, “a”
dapat disebut juga sebagai objek penyebab hasrat.
Misalnya saja, seseorang menginginkan laptop keluaran terbaru. Laptop ini
telah menjadi objek hasrat subjek yang telah dikonstruksi oleh The Other melalui bahasa. Hasrat ini
kemudian membagi diri subjek, di mana kesadarannya menginginkan laptop tersebut
dengan berbagai alasan yang logis, mulai dari spesifikasi, branding hingga
harga yang terjangkau. Kendati demikian, secara tidak sadar, subjek menginginkan
“a” yang tak dapat dibahasakan yang
ada di dalam laptop tersebut. Setelah mendapatkan laptop tersebut, anehnya
hasratnya tidak lagi menggebu-gebu seperti sebelum ia memiliki objek hasrat
tersebut. Hal ini dapat diartikan absensi dari “a” pada laptop atau objek hasrat tersebut. Absensi “a” dari pandangan subjek memantik
timbulnya kecemasan (anxiety) pada
subjek. Kecemasan ini, menurut Lacan adalah kekurangan paling radikal atau
kekurangan dari kekurangan, di mana subjek tidak bisa membahasakan apa yang
terjadi pada dirinya, ketika ia tidak lagi menginginkan objek hasrat yang
pernah diinginkan sebelumnya. Dengan begitu, kecemasan dan “a” inilah bukti eksistensi dari yang riil,
ruang orisinil yang tak terbahasakan yang selalu membayang-bayangi subjek yang
didominasi oleh yang-simbolik.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, kita melihat Lacan menyingkap eksistensi
hasrat The Other yang termaktub pada
setiap individu melalui bahasa. Secara tidak sadar, The Other atau “ayah simbolik” akan terus mengkonstruksi hasrat pada
suatu objek dengan mengeksploitasi sensasi lack
yang bersifat continuous dalam diri
manusia. Kita tidak akan pernah keluar dari kekuasaan The Other, selama kita masih menguasai dan memahami bahasa, sebab
bahasa adalah agen The Other untuk
menguasai kehendak manusia. Dengan kata lain, The Other hanya akan berkuasa pada fase yang-simbolik saja, ketika
kita telah mengenal bahasa.
The Other tak memiliki kuasa
pada fase yang-riil, di mana diri masih berada di dalam dimensi primordial, belum
mengenal bahasa atau merasakan sensasi lack.
Dalam dimensi yang-riil ini, diri mendapatkan keutuhan dan tak
berkekurangan apapun, sehingga yang-riil ini juga bisa dikatakan sebagai ruang
yang tak terbahasakan. Ketika kita telah masuk dalam dimensi yang-simbolik,
secara tidak sadar, kita selalu menghasrati sesuatu untuk mengisi sensasi lack. Pengisian lack ini adalah manifestasi kerinduan kita pada objet petit a atau objek penyebab hasrat
yang “abstrak” pada objek hasrat. Karena pada dasarnya, kita tidak menginginkan
objek hasrat yang berbentuk materil, melainkan objet
petit a yang eksis pada objek tersebut, sehingga ketika objet petit a ini menghilang pada objek
yang dihasrati, maka secara tidak sadar nilai hasrat kita juga telah tereduksi
pada objek materil tersebut. Dengan demikian, objet petit a adalah temuan Lacan untuk menjawab faktor dinamika hasrat
yang bersifat temporal pada suatu objek yang diinginkan.
Daftar Pustaka
1. Ricky, Manik. 2016. “Hasrat Nano Riantiarno dalam Cermin Cinta:
Kajian Psikoanalisis”. Jurnal Poetika Vol. IV No. 2. Hal. 75.
2. https://indoprogress.com/2015/06/slavoj-zizek-dan-pembentukan-identitas-subjektif-melalui-bahasa diakses pada tanggal 28 Mei 2020, pukul 02.51.
3. Lacan, Jascues. 1977. Ecrits:
A Selection. Terj oleh Alan Sherindan. New York: W.W. Norton & Co.
4. Althusser,
Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies, terj. Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra. Hal. 20.
5. 5. Sahtyaswari, Chitta.
Reyna. 2018. “Mekanisme Pembentukan Subjek pada Tokoh Jayanegara dalam Novel
Kerumunan Terakhir Karya Okky Madasari”. Jurnal Unesa. Vol. 01. No. 01.
No comments: